Saduran Jurnal :
The Use Of Pgf2a As Ovulatory Stimulus For Timed Artificial Insemination In Cattle
Theriogenology 81 (2014) 689–695
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penelitian di bidang reproduksi akhir akhir ini banyak meneliti mengenai teknologi sinkronisasi ovulasi yang bertujuan untuk pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB). Teknologi sikronisasi ovulasi ini telah diterapkan di peernakan sapi potong maupun sapi perah dengan metode pemberian progesterone intravagina, estradiol benzoat, PGF2α dan GNRH analog.
Pada sapi, penggunaan PGF sebagai hormon dalam sinkronisasi estrus sudah umum digunakan. PGF berfungsi melisis Corpu Luteum (CL). Walaupun PGF dikenal sebagai hormn untuk luteolisis namun penelitian sebelumnya menunjukan bahwa hormone ini juga mempunyai peran dalam ovulasi, implantasi embrio, pemeliharaan kebuntingan, fisiologi postpartum. PGF meningkatkan responsifitas kelenjar pituitary untuk menghasilkn GnRH, sehingga meningkatkan pelepasan LH sehingga terjadilah ovulasi. Pada penelitian sebelumnya PGF berpengaruh pada ovulasi pertama sapi dara, baik tanpa treatment apapun sebelumnya ataupun dengan treatment progesterone terlebih dahulu. Namun, efektifitas dari perlkuan tersebut terhadap inseminasi buatan asih belum diketahui.
Tujuan
Tujuan yang terkandung dalam jurnal ini adalah :
- mengevaluasi pengaruh PGF terhadap sinkronisasi ovulasi.
- Mengetahui efisiensi PGF sebagai stimulus ovulasi dalam kaitanya dengan inseminasi buatan
Materi dan Metode
Penelitian 1
Penelitian dilaksanakan di Brazilian Agricutural Research, Brazil. Sebanyak 13 ekor dara persilangan sapi Gyr dan Holstein yang berumur 14 sampai dengan 18 bulan (berat berkisar 290sampai dengan 360kg) digunakan dalam penelitian 1 ini. Sitem pemeliharaan degan sistem ekstensif, sapi dibiarkan merumput an diberika tambahan mineral dan air secara ad libitum.
Semua sapi dara diberikan 1,9 gr progesterone intravaginal dengan CIDR (controlling internal drug release) plus estradiol bezoat (EB) 1mg diberikan dengan injeksi inramuskular, dan ditambahkan PGF sebanyak 250 ug pada hari ke 0. CIDR dilepas pada hari ke setelah kemunculan gelombang folikel atau kira kira 9 hari setelah proses pemasangan CIDR dan sapi dara diberikan 250ug PGF (D- cloprostenol) pada saat pelepasan. 24 jam kemudian,sapi dara dibagi secara acak menjadi 3 kelompok :1) 1 mg EB (Grup EB, n=13) ; 2) 500 ug PGF (grup PGF, n =13) dan saline (control gru.p, n= 13).
Penelitian 2
Penelitian 2 bertempat di peternakan komersial yang berlokasi di bagian selatan Brazil. Ternak yang digunakan yaitu dara persilangan Abeerden Angus yang berumur 12 sampai dengan 4 bulan (n=444) dengan berat 313 kg.
Pada hari ke 0 sapi diberikn CIDR dan 2 mg EB. Kemudian hari ke 9 CIDR dilepas dan sapi dara diberikan 500ug PGF dengan injeksi intramuscular. Kemudian, sapi dibagi secara acak menjadi 3 kelompok perlakuan. ; 1) 1 mg EB (Grup EB, n=145) ; 2) 500 ug PGF / sodium cloprostenol (grup PGF, n =149). Kedua kelompok tersebut diberikan perlakuan setelah 24 jam pelepasan CIDR (hari ke 10).Kelompok ke 3 diberikan Estradiol cypionat (ECP grup, n= 150). Pemberian ECP dilakukan pada waktu yang sama saat pelepasan CIDR. Waktu inseminasi buatan dilaksanakan 48 jam setelah pelepsan CIDR pada kelompok ECP, dan 54 jam setelah pelepasan CIDR pada kelompok PGF dan EB.
Penelitian 3
Penelitian ke 3 dilaksanakan di tempat yang sama dengan penelitian yang ke 2. Ternak yang digunakan adalah sapi Aberdeen Angus post partum dengan BCS 2,5 sampai dengan 3,5. Ternak tersebut dikelompokan sama seperti kelompok pada penelitian ke 2 kecuali kelompok ECP dengan : n kelompok EB : 117, n kelompok PGF : 107
Gambar 1. Skema penelitan 1 (A) penelitian 2 (B) dan peneltian 3 (C)
Analisis statistik
Analisis statistic menggunakn aplikasi SAS 9.0. Parameter pada percobaan pertama diantaranya waktu ovuasi, diameter folikel pada hari ke 9 dan ke 11 dan diameter corpus luteum pada hari ke 17 dianalisis dengan one way of variance dan dilanjutkan dengan uji tukey. Pada percobaan ke 2 dan ke 3 parameter yang diamati diantranya diameter maksima dari folikelpada saat pelepasan CIDR dan pada saat inseminasi buatan,interval ovuasi, leju pertumbuhan folikel dan diameter corpus luteum. Analisis menggunakan One Way Analisis of Variance dan dilanjutkan dengan uji tukey.
Hasil dan Pembahasan
Pada percobaan 1, hasil menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata padapertumbuhan folikel diantara semua perlakua ( P>0,05) Gambar 2. Begitu pula pada waktu ovulasi tidak ada perbedaan antar perlakuan dengan EB dan PGF,namun kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dengan control (P=0,01). Rata rata waktu ovuasiseteah pelepasan CIDR adalah 69,82 untuk kelompok EB dan 73.1 untuk kelompok PGF (gambar 3).
Pada percobaan ke 2, respon ovarium,ovulasi dan tingat kebuntingan bida dilihat pada tabel 1. Sapi dara yang diberikan perlakuan PGF lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan EB dan ECP namun idakberbeda nyata (P=0,08). Begitu juga dengan tingat kebuntingan,tidak ada perbedaan secara nyata diantara ketiga perlakuan (P=0,09). Diameter folikel dominan pada hari ke 9 juga tidakberbeda nyata diantara ketiga perlakuan (P=0,18). Namun terdapat perbedaan nyata pada ukuran folikel pada saat inseminasi buatan. Ukuran folikel dominan pada perlakuan PGF paling besar dan yang paling kecil adalah dengan perlakuan ECP (P<0,01).
Gambar 2. Pertumbuhan folikel dengan menggunakan 3 perlakuan yang berbeda
Percobaan ketiga menunjukan tidakada perbedaa yang nyata diatara semua perlakuan (tabel 1) Diameter folikel dominan pada saat Inseminasi buatan dan juga ukuran diameter folikel pada hari ke 9 tidak berbeda nyata (P>0,05)
Penelitian ini membuktikan bahwa penggunaan PGF akan merangsang pertumbuhan folikel untuk keperluan sinkronisasi ovulasi. Penambahan eksogenus PGF berhasil menstimulasi pertumbuhan folikel sehingga terjadinya ovulasi pada sapi dara. PGF menghasilkanperforma pertumbuhan folikel, ovulasi dan tingkat kebuntingan yang sama dengan penggunaan estradiol. Walaupun perakuan PGF meningkatkan tingat ovulasi namun pada tingkat kebuntigan tidak ada perdaan jika dibandingkan dengan perlakuan EB dan ECP. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengaruh tidak langsung pemberian eksogenus PGF (penyebab luteolisis, penurunan kadar progesterone dan pemicu meningkatan LH) lebih besar daripada peran PGF secara langsung terhadap folikel.
Perbandingan dengan perlakuan ECPdilakukan karena perakuan ECP paling sering dilakukan oleh para pelaku usaha di Amerika Selatan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata perlakuan PGF dengan ECP, terutama pada tingkat kebuntingan.
Gambar 3.Waktu ovulasi setelah pelepasa CIDR pada perlakuan yang berbeda
Pada penelitian 1, perlakuan PGF diberikan 2 kali yaitu hari ke0 sebelum pemasangan CIDR dan pada pelepasan CIDR. Perlakuan tersebut berdampak pada penurunan progesterone yang sangat cepat sehingga sangat berpotensi terjadinya sinkronisasi ovulasi.
Tabel 1. Tigkat ovulasi, tingkat kebuntingan, dan ukuran folikel
Perlakuan PGF,EB dan ECP memiliki perbedaan dalam mekanisme sinkronisasi ovulasi. Pemberian EB dan ECP memiliki peran meningkatkan kadar LH sehingga terjadi ovulasi. Namun pada pada perlakuan PGF, PGF lebih berperan dalam pertumbuhan folikel. Hal ini terihat dari ukuran folikel yang bertambah 3 mm padahari ke 9 sampai hari ke 11,dimana pertumbuhan tersebut tidak terjadi pada perlakuan EB dan ECP. Tidak terjadinya perumbuhan folikel pada perlakuan EB dikarenakan adanya peningkatan LH sehingga menghambat pertumbuhan folikel.
Pada penelitian sebelumnya diungkakan mengenai mekanisme PGF terhadapperumbuhan folikel sehingga terjadinya ovulasi. Telah diketahui bahwa PGF ternyata memberikan dampak langsung terhadap kelenjar pituitary sehingga merangsang untuk menghasilkan GNRH dan selanjutnya menigkatkan pelepasan LH 6 jam setelah pemberian PGF.
Kesimpulan
PGF dapat menjadi penstimulasi ovulasi yang baik,pada sapi dara. Keefektifan PGF terhadap tingkat kebuntingan sama, baik pada sapi dara ataupun sapi yang telah beranak