[:id]Cita-cita swasembada daging sapi nasional yang menjadi target pemerintah dalam beberapa tahun kedepan terus dikembangkan dengan berbagai strategi. Pemerintah bersama dengan peternak dan beberapa pihak lain terus berupaya untuk mensukseskan target nasional tersebut. Dalam perkembanganya terdapat hal yang perlu ditidaklajuti yaitu penanganan penyakit. Salah satu penyakit yang menjadi pertimbangan bagi peternakan nasional Brucellosis.
Brucellosis merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis akibat infeksi bakteri dari genus Brucella. Tidak hanya membahayakan bagi ternak, namun infeksi Brucellosis juga berbahaya bagi manusia. Brucellosis dapat ditansmisikan melalui bahan pangan asal hewan yang apabila terkonsumsi oleh manusia dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan pada manusia.
Di ranah peternakan sendiri, Brucellosis adalah penyakit yang dapat menimbulkan kerugian besar pada suatu populasi. Infeksi Brucellosis dapat ditransimisikan lewat plasenta, fetus, vagina discharge dan kopulasi, adanya infeksi tersebut akan memicu terjadinya berbagai masalah pada ternak seperti abortus, kematian embrio dini, retensi plasenta, penundaan kelahiran ternak hingga penurunan produksi susu. Lebih spesifik lagi, infeksi bakteri Brucella pada ternak jantan akan memicu terjadinya gangguan pada saluran reproduksi seperti: testicular abcess, orchitis atau metritis yang dapat berujung pada infertilitas secara permanen.
Keberhasilan penanganan pada kasus Brucellosis sangat bergantung pada ketepatan diagnosa pada kasus ini, gejala Brucellosis yang beragam dan tidak spesifik membuat diagnosa Brucellosis sering terkaburkan dengan penyakit lain seperti: Vibriosis, Trichomoniasis, Leptospirosis dan beberapa penyakit lain. Saat ini uji serologis menjadi metode yang paling umum dipakai dalam diagnosa Brucellosis, beberapa jenis uji seperti RBT (Rose Bengal Test), SAT (Serum Aglutination Test) dan CFT (Complement Fixation Test) merupakan metode yang paling sering dipakai. Hanya saja pada berbagai metode ini masih terdapat kekurangan dalam hasil pengujiannya. Uji RBT menjadi metode yang paling populer digunakan sebagai skrining cepat Brucellosis pada suatu populasi, namun hasil dari RBT tidak bisa digunakan sebagai diagnosa akhir karena sangat rawan terjadi hasil false-positive sehingga perlu uji lanjutan, kemudian untuk uji SAT kurang praktis apabila digunakan pada hewan karena spesifitas pada hasil SAT hanya akan meningkat apabila antigen dicampur terlebih dahulu dengan EDTA, sedangkan untuk CFT merupakan uji yang tidak bisa berdiri sendiri karena pada umumnya CFT digunakan sebagai uji konfirmasi dikarenakan uji CFT dapat menimbulkan cross-reactivity pada sapi yang telah divaksin B. Abortus S19.
Saat ini, selain menggunakan uji serologis, diagnosa pada kasus Brucellosis juga dapat dibantu menggunakan uji molekular. Diagnosa molekuler yang dapat menjadi gold standard pada diagnosa brucellosis adalah PCR (Polymerase Chain Reaction), diagnosa molekular memakai PCR tidak hanya dapat mendeteksi kehadiran bakteri Brucella namun juga mampu membedakan tingkat kejadian infeksi, baik itu akut, subakut maupun kronis. Uji PCR bekerja dengan membaca material genetik suatu mikroorganisme secara spesifik dari suatu sampel, berbagai materi genetik spesifik dari suatu mikroorganisme menjadi target dari PCR akan diamplifikasikan oleh PCR sehingga dapat meningkatkan urutan rantai DNA spesifik hingga lebih dari 100 kali lipat. Keunggulan lain dari metode ini dapat memakai berbagai macam sampel, tanpa harus spesifik pada serum, beberapa cairan seperti serum, darah, urine, cairan serebrospinal, synovial, cairan pleura dan susu juga menjadi cairan yang dapat digunakan sebagai sampel untuk uji PCR. Tidak hanya itu, PCR juga dapat mendeteksi materi genetik dari semua mikroorganisme patogen, bahkan untuk mikroorganisme yang telah mati sekalipun.
Adanya PCR sebagai diagnosa molekular dapat menjadi alternatif sebagai metode diagnosa Brucellosis yang tepat. Diagnosa yang cepat dan tepat dapat membuat proses pengambilan keputusan terkait tindakan lanjutan dapat dilakukan dengan optimal sehingga proses pengendalian terhadap penyakit Brucellosis ini dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
Pejantan yang masuk BBIB Singosari harus bebas dari 12 penyakit strategis. Selain itu, BBIB Singosari melakukan pengawalan biosecurity guna pencegahan terjadinya penyakit. Secara berkelanjutan melakukan pemeriksaan terhadap12 penyakit secara berkala yakni 2 (dua) kali dalam setahun. Sebagai jaminan semen beku BBIB Singosari berkualitas dari pejantan unggul dan bebas dari penyakit.
Referensi:
Zahoor, Muhammad and Muhammad Zahoor Khan. 2018. An Overview of Brucellosis in Cattle and Humans, and its Serological and Molecular Diagnosis in Control Strategies. Tropical Medicine and Infection Disease 2018, 3, 65.[:]