Oleh : Muhammad Tegar K K
Pengawas Bibit Ternak Ahli Pertama

Berdasarkan etimologi, istilah kloning atau klonasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata Klonus atau Kloon yang berarti ranting, stek, tunas, atau cangkok. Pada hakekatnya, cloning merupakan langkah penggandaan (pembuatan tiruan yang sama persis) dari suatu makhluk hidup dengan menggunakan kode DNA makhluk tersebut. Makhluk hidup hasil cloning disebut klon

Perkembangan Kloning Hewan 

Kloning hewan telah muncul sejak awal tahun 1900, tetapi contoh hewan kloning baru dapat dihasilkan lewat penelitian Wilmut et al pada tahun 1996 dan untuk pertama kali membuktikan bahwa kloning dapat dilakukan pada hewan mamalia dewasa (Hine, 2004). Menurut Budidaryono (2009), cloning pada hewan dimulai ketika para pakar biologi reproduksi Amerika, Briggs dan King, pada tahun 1952 berhasil membuat klon katak melalui teknik Transplanting Genetic Material dari suatu sel embrional katak ke dalam sel telur katak yang telah diambil intinya. Pada tahun 1962, Gurdon melakukan transplantasi nukleus sel usus katak (somatik) yang telah mengalami diferensiasi ke dalam sel telur katak yang telah diambil intinya. Sel telur berinti sel intestinum tersebut kemudian berkembang menjadi klon katak (Arnold, 2009).

Selanjutnya pada tahun 1967, Mintz berhasil melakukan transplantasi sel somatik embrional pada stadium blastula dan morula ke dalam Rahim seekor tikus sehingga dihasilkan klon tikus (Budidaryono, 2009). Sampai saat ini, telah banyak peneliti yang melaporkan keberhasilannya membuat hewan klon yang dihasilkan dari teknik transplantasi inti sel somatik. Beberapa diantaranya adalah sapi jantan bernama Gene yang berhasil dikloning oleh Infigen Inc. dari sebuah sel fetus pada tahun 1997, kambing bernama Mira yang dikoning dari sel embrionik oleh Genzyme Transgenic Corporation and Tufts University pada tahun 1998. Pada tahun yang sama, peneliti dari Universitas Hawai berhasil mengkloning tiga generasi tikus dari sel cumulus.  Pada tahun 2000, Universitas Teramo di Italia mengkloning muflon dari sel dewasa dan tim peneliti PPL Therapeutics berhasil memproduksi beberapa babi yang dikloning dari sel dewasa yang diberi nama Millie, Christa, Alexis, Carrel, dan Dotcom. CC, kucing betina pertama berhasil diklon oleh Genetics Saving Clone pada tahun 2001. Dua tahun setelahnya, Trans Ova Genetics an Advanced Cell Technologies memproduksi banteng pertama yangdiklon dari sel dewasa. Kijang dan keledai pertama juga berhasil diklon pada tahun 2003 ini.

Selanjutnya pada tahun 2004, dua ekor kucing diklon dengan menggunakan teknologi transfer kromatin. Kedua kucing tersebut diberi nama Tabouli dan Baba Ganoush (Anonima, 2009). Arnold (2009) mengemukakan bahwa pada tahun 2004, ilmuwan Korea Selatan memproduksi beberapa klon embrio manusia. Produksi klon embrio manusia ini, menurut mereka akan digunakan untuk menghasilkan sel induk embrionik yang dapat digunakan dalam pengobatan penyakit. Pada tahun 2005, Seoul National University berhasil memproduksi anjing klon pertama yang diberi nama Snuppy

Pada bulan November 2007,dunia dikejutkan oleh para ilmuwan  Oregon yang menyatakan berhasil mengkloning embrio kera dan mengekstraknya dalam sel induk. Kesuksesan ini dilaporkan oleh ilmuwan Australia Soukhrat Metalipov dari Pusat Penelitian Primata Nasional Oregon di Portland (Rusda, 2004). Menurut Setiawan (2009), Mitalipov berhasil memproduksi sel stem embrionik yang dilakukan dengan menggunakan teknik SCNT. Beliau menggunakan sel kulit sebagai donor sel somatic yang berasal dari monyet resus jantan yang berumur 10 tahun, lalu ditransfer ke sel telur yang telah dienukleasi. Mitalipov juga telah berhasil mendiferensiasikan sel stem embrionik tersebut menjadi sel jantung dan neuron.

Fakta dari hewan kloning dari berbagai spesies telah diproduksi oleh sejumlah laboratorium menunjukkan begitu besarnya keinginan untuk memproduksi atau mengkloning hewan dengan genotip-genotip spesifik. Disamping itu, ada juga permintaan untuk mengkloning hewan-hewan yang bergenetik unggul. Spesies hewan lainnya yang menjadi target kloning adalah hewan-hewan yang sudah hampir punah, hewan steril, infertil, ataupun hewan mati.

National Geographic pada bulan Mei 2009 ini menyajikan berita yang cukup menarik mengenai usaha para ilmuwan untuk membangkitkan kembali mamooth (Mammuthus primigenius), sejenis gajah raksasa berbulu lebat yang pernah menguasai lingkaran kutub utara ribuan tahun silam dari specimen utuh seekor bayi mamooth di Siberia. Harapan untuk menghidupkan kembali satwa-satwa yang telah punah semakin besar setelah Teruhiko Wakayama berhasil membuat cloning dari seekor mencit yang telah beku selama dua dekade. Selain itu, dengan adanya penemuan yang dilakukan oleh Mitalipov dan keberhasilan Clonaid memproduksi manusia hasil cloning pertama yang bernama Eve pada tahun 2002 menunjukkan bahwa teknologi kloning dapat diaplikasikan pada manusia. Dengan keberhasilan ini, para ilmuwan tertantang untuk melakukan kloning pada manusia, baik berupa kloning reproduktif untuk menghasilkan individu utuh maupun berupa cloning terapeutik untuk diaplikasikan pada berbagai penyakit dengan terapi sel stem

 

Manfaat Kloning Hewan 

Menurut Rusda (2004), secara garis besar manfaat kloning adalah sebagai berikut.

  1. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan Manfaat kloning terutama dalam rangka pengembangan biologi, khususnya reproduksi-embriologi dan diferensiasi.
  2. Untuk mengembangkan dan memperbanyak bibit unggul Seperti telah kita ketahui, pada sapi telah dilakukan embrio transfer. Hal yangserupa tentu saja dapat juga dilakukan pada hewan ternak lain, seperti pada domba, kambing dan lain-lain. Dalam hal ini jika nukleus sel donornya diambil dari bibit unggul, maka anggota klonnya pun akan mempunyai sifat-sifat unggul tersebut. Sifat unggul tersebut dapat lebih meningkat lagi, jika dikombinasikan dengan teknik transgenik. Dalam hal ini ke dalam nukleus zigot dimasukkan gen yang dikehendaki, sehingga anggota klonnya akan mempunyai gen tambahan yang lebih unggul.
  3. Untuk tujuan diagnostik dan terapi Sebagai contoh jika sepasang suami isteri diduga akan menurunkan penyakit genetika thalasemia mayor. Dahulu pasangan tersebut dianjurkan untuk tidak mempunyai anak. Sekarang mereka dapat dianjurkan menjalani terapi gen dengan terlebih dahulu dibuat klon pada tingkat blastomer. Jika ternyata salah satu klon blastomer tersebut mengandung kelainan gen yang menjurus ke thalasemia mayor, maka dianjurkan untuk melakukan terapi gen pada blastomer yang lain, sebelum dikembangkan menjadi blastosit. Contoh lain adalah mengkultur sel pokok (stem cells) in vitro, membentuk organ atau jaringan untuk menggantikan organ ataujaringan yang rusak
  4. Menolong atau menyembuhkan pasangan infertil mempunyai turunan Manfaat yang tidak kalah penting adalah bahwa kloning manusia dapat membantu/menyembuhkan pasangan
    infertil mempunyai turunan. Secara medis infertilitas dapat digolongkan sebagai penyakit, sedangkan secara psikologis ia merupakan kondisi yang menghancurkan atau membuat frustasi. Salah satu bantuan ialah menggunakan teknik fertilisasi in vitro. (in vitro fertilization = IVF). Namun IVF tidak dapat menolong semua pasangan infertil. Misalnya bagi seorang ibu yang tidak dapat memproduksi sel telur atau seorang pria yang tidak dapat menghasilkan sperma, IVF tidak akan membantu. Dalam hubungan ini, maka teknik kloning merupakan hal yang revolusioner sebagai pengobatan infertilitas, karena penderita tidak perlu menghasilkan sperma atau telur. Mereka hanya memerlukan sejumlah sel somatik dari manapun diambil, sudah memungkinkan mereka punya turunan yang mengandung gen dari suami atau istrinya.

 

Teknik Kloning Hewan 

Secara umum, kloning dapat dilakukan dengan teknik embryo splittingblastomere dispersal, dan nuclear transfer atau somatic cell nuclear transfer.

  1. Embryo splitting 

Pada teknik ini, kumpulan totipoten praembrio sebelum diletakkan ke dalam resipien, dipilah menjadi dua, yang kemudian menghasilkan dua embrio identik. Cara ini sering terjadi secara alamiah, yaitu dalam proses yang menghasilkan kembar identik.

  1. Blastomere dispersal 

Teknik ini dimulai dengan pemisahan secara mekanik sel-sel individual sebelum pembentukan blastosit (sel-sel awal membentuk bola yang berisi cairan).

  1. Nuclear transfer atau Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT) 

Pada teknik ini dibutuhkan dua sel, yaitu sel donor dan sel telur. Teknik ini melibatkan beberapa tahap penting, termasuk: (1) penyediaan ovum yang sudah matang, (2) pengeluaran kromosom yang terdapat dalam ovum (enucleation), (3) transfer inti sel hewan yang dikloning ke dalam ovum enucleasi, (4) aktivasi embrio yang baru terbentuk sehingga menginisiasi perkembangan embrionik, (5) kultur embrio in vitro, dan (6) transfer embrio yang dikloning ke induk resipien (Hine, 2004). Proses enukleasi sel telur dapat dilakukan secara mekanik dengan menggunakan teknik mikromanipulasi. Sedangkan proses introduksi sel donor dapat dilakukan dengan teknik mikroinjeksi (Setiawan, 2008). Sementara itu, Hangbao (2004) mengemukakan bahwa sel donor dan sel penerima transfer nucleus difusikan oleh getaran listrik tunggal secara langsung melalui elektroda tipe jarum. Teknik teknik yang diperlukan untuk menyempurnakan tahapan-tahapan ini agak berbeda antar spesies. Demikian halnya dengan efisiensi setiap tahap juga bervariasi bagi spesies hewan (Setiawan, 2008).

Teknik SCNT ini merupakan teknik yang paling sering digunakan dalam penelitian kloning hewan. Aplikasi dari teknik SCNT ini adalah pada penelitian kloning reproduktif dan cloning terapeutik. Pada kloning reproduktif, setelah sel klon mengalami pembelahan hingga tahap blastosit, embrio selanjutnya ditransfer ke induk resipien (surrogate mother) untuk dilahirkan secara normal. Sedangkan pada cloning terapeutik, setelah embrio mencapai tahapan blastosit, embrio dikultur secara in vitro dalam medium spesifik untuk dideferensiasikan menjadi berbagai jenis sel untuk kegunaan terapeutik. Manipulasi kondisi kultur dengan menggunakan medium selektif merupakan metode standar untuk seleksi organisme (Freshney, 2000).

 

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kloning 

Sampai saat ini, hewan klon yang berhasil diproduksi jumlahnya cukup banyak, diantaranya adalah domba, sapi, kambing, kelinci, kucing, dan mencit. Sementara itu, tingkat  eberhasilan kloning masih rendah pada hewan anjing, ayam, kuda, dan primata (Setiawan, 2008). Walaupun keberhasilan produksihewan kloning dengan menggunakan teknik SCNT telah berhasil pada beberapa spesies, namun produksi hewan cloning masih sangat rendah dengan tingkat efisiensi kurang dari 1% (Hine, 2004). Menurut Setiawan (2008), parameter
yang dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan SCNT adalah kemampuan sitoplasma pada sel telur untuk mereprogram inti dari sel donor dan juga kemampuan sitoplasma untuk mencegah terjadiya perubahan secara epigenetic selama dalam perkembangannya. Dari
semua penelitian yang telah dipublikasikan, tercatat hanya sebagian  kecil saja dari embrio hasil rekonstruksi yang berkembang menjadi individu muda yang sehat dan umumnya laju
keberhasilan kurang dari 4%. Domba Dolly merupakan satusatunya klon yang berhasil lahir setelah dilakukan 276 kali percobaan. Demikian halnya dengan tikus kloning yang  diproduksi oleh Teruhiko Wakayama dan Yanagimachi yaitu hanya 3 kloning dari sekitar 100 kali percobaan.

Edwars, et. all. (2003) mengemukakan bahwa sedikitnya ada lima periode kegagalan kloning hewan, yaitu: (1) masa praimplantasi yang ditandai dengan 16 > 65% dari sel embrio gagal berkembang menjadi morula atau blastokista; (2) usia fetus 30 – 60 hari
dapat terjadi kematian 50-100% embrio yang ditandai dengan tidak adanya detak jantung  embrio, plasenta hypoplastik, dan sebagian berkembang dengan kotiledon rudimenter; (3) keguguran spontan pada trisemester kedua kehamilan yang disebabkan oleh janin abnormal dan membran janin menebal dan mengalami edema; (4) trisemester ketiga (usia janin 200-265 hari) yang ditandai dengan kematian janin hydrallantois, dan pada beberapa kasus terjadi edema parah; (5) tingkat keberlangsungan hidup yang rendah setelah kelahiran akibat komplikasi. Embrio yang dihasilkan setelah kelahiran seringkali mengalami kelainan, seperti obesitas dan kematian pada usia dini.

Ada beberapa variabel yang  mempengaruhi tingkat keberhasilan kloning diantaranya adalah spesies, tipe sel donor inti, modifikasi genetik, ovum resipien, perlakuan terhadap sel
donor sebelum transfer inti, dan teknik transfer inti. Menurut Setiawan (2008), penyebab timbulnya berbagai masalah dalam kloning hewan adalah adanya kesalahan saat pemrograman material genetik (reprogramming) dari sel donor. Sedangkan menurut HangBao (2004) faktor penyebab ketidakefisiensian kloning, yaitu tahapan siklus sel donor,
ketidaklengkapan pemprograman ulang nukleus, dan tipe sel donor yang digunakan. Banyak tipe sel yang telah digunakan untuk transfer inti, diantaranya adalah sel-sel cumulus dan
mural granulose. Walaupun demikian, ada suatu indikasi bahwa tipe sel dan stadium siklus sel saat transfer inti dapat mempengaruhi efisiensi kloning. Stadium G0/G1 (gambar 2) menjadi stadium terbaik (Hine, 2004). Selain itu, apabila salah satu tahap kloning
kurang optimal, maka akan berpengaruh pada produksi embrio atau transfer embrio.

Edwars, et. all. (2003)mengemukakan bahwa prosedur cloning juga memberikan kontribusi terhadap kematian embrio dan janin. Hal ini disebabkan karena enukleasi oosit mengurangi 5-15% atau lebih ooplasma; penggunaan sinar ultraviolet dalam prosedur mengakibatkan perubahan integritas membran, meningkatkan serapan metionin, mengubah aktivitas sintesis protein dan aktivitas mitokondria; penggunaan listrik untuk menginjeksi sel telur mengakibatkan perubahan integritas membran sel telur; dan penggunaan bahan kimia untuk pengaktifan embrio. Hal lain yang mungkin menjadi penyebab kegagalan kloning adalah adanya penolakan immunologis uterus induk terhadap janin transfer dan perubahan halus dalam struktur kromatin dan/atau ekspresi gen.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Arnold, P. 2009. Big Moments in Cloning Historywww.brighthub. com/science/genetics/articles/1349 4.aspx#ixzz0YPv2YQ7H.

Budiningsih, S. 2009. Kloning dan Etik dalam Kedokteran Reproduksi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Djati, M. S. 2003. Diskursus Teknologi Embryonic Stem Cells dan Kloning dari Dimensi Bioetika dan Relegiositas (Kajian Filosofis dari Pengalaman Empirik). Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 3 No. 1, September 2003: 102-123.

Edwars, J. L., Schrick, F. N., McCracken, M. D., Van Amstel, S. R., Hopkins, F. M., Welborn, M. G.,

Davies, C. J. 2003. Cloning Adult,Farm Animals: A Review of the Possibilities and Problems
Associated with Somatic Cell Nuclear Transfer. AmericanJournal of Reproductive Immunology, Volume 50 tahun 2003: 113-123.

Freshney, RI. 2000. Culture of Animal Cells: A Manual of Basic Technique. Canada: Wiley-Liss.

Hangbao Ma. 2004. Technique of Animal Clone. Journal Nature and Science, 2(1), 2004: 29-34.

Hine, T. M. 2004. Kloning untuk Menghasilkan Hewan dengan Genotip yang Diinginkan.
Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Moeloek. 2009. Etika dan Hukum Teknik Reproduksi Buatan. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Murti, H., Fahruddin, M., Sardjono, CT., Setiawan, B., Sandra, F. 2008. Altered Nuclear Transfer: Pengembangan Teknik Somatic Cell Nuclear Transfer untuk Mengatasi Masalah Etika. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran, 161/ Vol. 35 No. 2 Maret-April 2008:61-63

Rusda, M. 2004. Kloning. Sumatra Utara: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Setiawan, M., Sardjono, CT., Sandra, F. 2008. Menuju Kloning Terapeutik dengan Teknik SCNT. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran, 161/ Vol. 35 No. 2 Maret-April 2008: 72-